Perrhatian:
Dilarang mengcopy
sebagian atau seluruh makalah ini tanpa mencantumkan nama dan alamat blog ini.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM
( ASAL USUL DAN PENGARUHNYA )
Oleh:
Sonin
http://karyasonin.blogspot.com
A. Pendahuluan
Manusia
dikatakan sebagai khalifah di muka bumi, memiliki suatu tanggung jawab yang
besar. Karena itu dalam bentuk
penciptaanya juga berbeda dengan makhluk lain, hal ini terbukti dengan adanya
akal yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Akal sebagai daya berfikir yang
ada pada diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan melalui
suatu jalan yang benar dalam pandangan akal manusia tersebut. Dalam mencari
kebenaran, Allah Swt tidak hanya memberikan kemampuan berpikir saja melainkan
juga memberikan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada
manusia dengan keterangan-keterangan tentang Allah dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Allah Swt.
Para ilmuan membahas masalah-masalah
keagamaan tidak semata-mata berpegang pada wahyu Allah tetapi banyak pula yang
bergantung pada pendapat akal. Peran akal yang besar dalam pembahasan
masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan saja dalam salah satu bidang keilmuan
tetapi juga dalam bidang filsafat, fikih, tauhid, dan bidang-bidang kajian
keagamaan lainnya. (Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 1986: 71)
Peranan akal dalam mengkaji suatu keilmuan
termasuk dalam filsafat, teologi dan sebagainya, sesuai dengan Hadits
Rasulullah SAW. Sebagaimana diceritakan. Ketika Muaz bin Jabal diangkat menjadi
Gubernur, sebelum beliau berangkat melaksanakan tugas, Rasulullah meras perlu
bertanya kepadanya: “Wahai Muaz, dengan apa engkau memutuskan suatu perkara?”
Muaz menjawab: “Aku memutuskan suatu perkara dengan berdasarkan kitab Allah, al
Qur’an.” Rasulullah melanjutkan bertanya: “Jika sekirany tidak terdapat dalam
kitab Allah?” Muaz menjawab: “Maka aku memutuskan perkara dengan Sunnah
Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Bagaimana kalau engkau tidak
mendapatkannya dalam Sunnnah Rasulullah?” Muaz menjawab: “Dalam keadaan
demikian, aku menggunakan akalku sekuat tenaga dan tidak akan
melebih-lebihkannya.” Mendengar jawaban Muaz Nabi Muhammad merasa gembira dan
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kapada
utusan-Nya.” (Hadis yang dikutif oleh H.M. Harun Nasution, 1986: 70 )
Kemudian dalam perkembanganya jika
dihubungkan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan
baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis
perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh
pemikiran para filosof yang kritis dan tajam. Untuk mengetahui perkembangan
Pemikiran Filsafat dalam Islam, akan kita kaji dalam pembahasan berikut.
B. Pembahasan
1. Asal usul Pemikiran Filsafat dalam
Islam
Selain wahyu yang telah dibawa para nabi sebagai
pegangan hidup, Islam juga memberikan kebebasan pada manusia untuk berpikir
dalam membahas masalah-masalah keagamaan, bukan hanya dalam bidang tafsir, fiqh
tawhid tetapi juga dalam bidang falsafat.
Berawal dari hasil pemikiran akal inilah
munculnya aliran-aliran teologi Islam seperti
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiah, dan Syi’ah. Dalam perkembanganya
aliran-aliran ini terpecah menjadi beberapa golongan, misalnya aliran Syi’ah
terpecah menjadi beberapa golongan, yang terbesar di antaranya adalah Ghulatus
Syi’ah, Syi’ah Imamiah, Rafidhah dan Zaidiyah. Untuk memahami perkembangan
pemikiran mereka lebih jauh dapat kita lihat dalam pendirian golongan –
golongan yang terpecah belah itu. Al-Baghdadi menyatakan, lahirnya konsepsi
tsybih dan tajsim untuk pertama kalinya berasal dari golongan Ghulatus Syi’ah
dan Rawafidh.
Syi’ah Imamiah berpendapat sama dengan
aliran Mu’tazilah yang menolak adanya sifat-sifat berdiri atas zat. Syi’ah
pengikut imam dua belas ini berpendapat bahwa Tuhan Maha Esa, tidak serupa segala
sesuatu atas-Nya, tidak disifatkan dengan sifat-sifat yang juga disifatkan
kepada makhluk, bukan jisim, bukan bentuk, bukan jauhar, bukan ‘aradh. Tidak
ada ukuran berat…, tidak gerak atau diam, tidak bertempat, tidak beranak dan
tidak berperanakkan…” (H.M. Laily Mansur, 1994: 40-42 )
Syi’ah Imamiah lebih cendrung mengkafirkan
orang yang berpendirian tasybih, sebagaimana dinyatakan oleh sayid Muhammad
Ridha al-Muzfar : “Dan barang siapa yang menyatakan dengan tasybih atau
Tuhan-Nya dengan menggambarkan bagi-Nya ada wajah, tangan dan mata, atau turun
kelangit dunia, atau bagi ahli surga Dia tampak seperti bulan dan sebagainya,
maka orang yang menyatakan demikian berada di tempat kafir, dan orang itu jahil
atas hakekat Tuhan Yang Maha Suci dari sega kekurangan.
Salah satu golongan lain di dalam Syi’ah
yaitu Ismailiah yang amat banyak terpengaruh pada filsafat, sebagaimana yang
dituturkan oleh Imam Syahrastani, yang dikutif oleh Laily Mansur. Menurut
Ismailiah, tidak dikatakan bagi-Nya maujud
atau tidak maujud, tidak alim dan
tidak jahil, tidak qadir dan tidak ‘ajiz (lemah). Demkian seterusnya
terhadap semua sifat. Hujjah mereka kedalam hal ini adalah bahwa penetapan
hakiki terhadap sifat-sifat itu membawa kepada berserikat antara Dia dengan
semua maujud di dalam sifat-sifat yang diberikan kepada-Nya. Yang demikian itu
membawa kepada syirik dan tasybih. Oleh karena itulah tidak mungkin menghukum
dengan penetapan sifat-sifat Tuhan itu secara mutlak dan tidak mungkin pula
penolakan secara mutlak.
Setelah aliran Syi’ah Ismailiah ini
dimasuki oleh Filsafat Yunani, khususnya Neo Platonisme di masa Khalifh Al
Ma’mun dengan cara intensif mengawinkan ajaran-ajaran agama dengan filsafat,
maka dari sinilah mulai terjadinya penyimpangan-penyimpangan khususnya
dikalangan Ikhwanus Shafa, yang menghasilkan ajaran-ajaran yang ekstrim. Mereka
meyakini bahwa imamah atau khilafah menuruti jalan nash dan ketetapan dan Imam
itu adalah maksum, rakyat wajib mengetahuinya, membaiat dan taat kepadanya.
Pengaruh yang mendalam dari filsafat Neo
Platonisme aliran Syi’ah Ismailiah juga percaya kepada teori emanasi. Nabi
menduduki tempat sebagai akal pertama bersama imam-imam dan jiwa semesta. Dn
ilmu pengetahuan yang memiliki aspek batin bisa sampai kepada tingkat rahasia
pengetahuan batin tertinggi. Sedangan bagi orang-orang awam hanya memiliki ilmu
pengetahuan lahiriah saja. (H.M. Laily Mansur, 1994: 50)
Aliran Syi’ah lain yang cukup besar
pengikutnya adalah golongan Zaidiah, yang dipimpin oleh Zaid bin Hasan bin Ali
bin Husen bin Ali bin Abi Thalib, aliran ini agak moderat dan mengarah pada
Ahlus Sunnah. Karena Zaid berguru kepada Wasil bin Atha, maka Zaid tidak bisa
melepaskan pengaruh gurunya dan dalam hal ini pengaruh Mu’tazilah.
Dengan pemikiran yang terbuka, aliran
Syi’ah telah mencoba untuk mempelajari dan menerima Filsafat Yunani. Kemudian
pada akhirnya terlahir filosof-filosof muslim, di dunia abad yang baru lalu
saja (abad ke-20), seperti: Thabathaba’I, Murtadha Muthahhari dan yang masih
hidup seperti Jalal Al-Din Asythiyani. Bahkan jauh sebelumnya telah lahir
filosof muslim seperti; Al Kindi, al-Razi al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan
seterusnya.
Memang sebenarnya
proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran
filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosuf Islam banyak
mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap
pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosuf Yunani
diambil oleh filsuf Islam.
Demikian keadaan
orang yang dapat kemudian. Kedatangan para filosuf Islam yang terpengaruh oleh
orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang
hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani
dan Romawi. Akan tetap berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga
dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari
Aristoteles. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak
aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan
perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan
dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan
persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya
sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai
mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia
mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan
Islam pernah menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan
berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa
tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya,
transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan
perbudakan dan penjiplakan.
Kenyataan yang ada juga telah menunjukkan
bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada
masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian
melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai
digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M),
oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki, Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn
Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat
dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan
kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun
Wasil ibn Ata’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan
menjadi doktrin resmi Negara. (Harun Nasution, 1986: 38)
Demikian juga dalam bidang fiqh.
Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti ijtihad, istihsan, qiyas dan lainnya telah lazim digunakan.
(Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam
Islam: 73) Tokoh-tokoh mazhab fiqh
yang menelorkan metode istinbath
dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik
(716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), mereka hidup
sebelum kedatangan filsafat Yunani. ( Arsyad, Natsir,
1995: 110)