Perrhatian:
Dilarang mengcopy
sebagian atau seluruh makalah ini tanpa mencantumkan nama dan alamat blog ini.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM
( ASAL USUL DAN PENGARUHNYA )
Oleh:
Sonin
http://karyasonin.blogspot.com
A. Pendahuluan
Manusia
dikatakan sebagai khalifah di muka bumi, memiliki suatu tanggung jawab yang
besar. Karena itu dalam bentuk
penciptaanya juga berbeda dengan makhluk lain, hal ini terbukti dengan adanya
akal yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Akal sebagai daya berfikir yang
ada pada diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan melalui
suatu jalan yang benar dalam pandangan akal manusia tersebut. Dalam mencari
kebenaran, Allah Swt tidak hanya memberikan kemampuan berpikir saja melainkan
juga memberikan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada
manusia dengan keterangan-keterangan tentang Allah dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Allah Swt.
Para ilmuan membahas masalah-masalah
keagamaan tidak semata-mata berpegang pada wahyu Allah tetapi banyak pula yang
bergantung pada pendapat akal. Peran akal yang besar dalam pembahasan
masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan saja dalam salah satu bidang keilmuan
tetapi juga dalam bidang filsafat, fikih, tauhid, dan bidang-bidang kajian
keagamaan lainnya. (Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 1986: 71)
Peranan akal dalam mengkaji suatu keilmuan
termasuk dalam filsafat, teologi dan sebagainya, sesuai dengan Hadits
Rasulullah SAW. Sebagaimana diceritakan. Ketika Muaz bin Jabal diangkat menjadi
Gubernur, sebelum beliau berangkat melaksanakan tugas, Rasulullah meras perlu
bertanya kepadanya: “Wahai Muaz, dengan apa engkau memutuskan suatu perkara?”
Muaz menjawab: “Aku memutuskan suatu perkara dengan berdasarkan kitab Allah, al
Qur’an.” Rasulullah melanjutkan bertanya: “Jika sekirany tidak terdapat dalam
kitab Allah?” Muaz menjawab: “Maka aku memutuskan perkara dengan Sunnah
Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Bagaimana kalau engkau tidak
mendapatkannya dalam Sunnnah Rasulullah?” Muaz menjawab: “Dalam keadaan
demikian, aku menggunakan akalku sekuat tenaga dan tidak akan
melebih-lebihkannya.” Mendengar jawaban Muaz Nabi Muhammad merasa gembira dan
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kapada
utusan-Nya.” (Hadis yang dikutif oleh H.M. Harun Nasution, 1986: 70 )
Kemudian dalam perkembanganya jika
dihubungkan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan
baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis
perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh
pemikiran para filosof yang kritis dan tajam. Untuk mengetahui perkembangan
Pemikiran Filsafat dalam Islam, akan kita kaji dalam pembahasan berikut.
B. Pembahasan
1. Asal usul Pemikiran Filsafat dalam
Islam
Selain wahyu yang telah dibawa para nabi sebagai
pegangan hidup, Islam juga memberikan kebebasan pada manusia untuk berpikir
dalam membahas masalah-masalah keagamaan, bukan hanya dalam bidang tafsir, fiqh
tawhid tetapi juga dalam bidang falsafat.
Berawal dari hasil pemikiran akal inilah
munculnya aliran-aliran teologi Islam seperti
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiah, dan Syi’ah. Dalam perkembanganya
aliran-aliran ini terpecah menjadi beberapa golongan, misalnya aliran Syi’ah
terpecah menjadi beberapa golongan, yang terbesar di antaranya adalah Ghulatus
Syi’ah, Syi’ah Imamiah, Rafidhah dan Zaidiyah. Untuk memahami perkembangan
pemikiran mereka lebih jauh dapat kita lihat dalam pendirian golongan –
golongan yang terpecah belah itu. Al-Baghdadi menyatakan, lahirnya konsepsi
tsybih dan tajsim untuk pertama kalinya berasal dari golongan Ghulatus Syi’ah
dan Rawafidh.
Syi’ah Imamiah berpendapat sama dengan
aliran Mu’tazilah yang menolak adanya sifat-sifat berdiri atas zat. Syi’ah
pengikut imam dua belas ini berpendapat bahwa Tuhan Maha Esa, tidak serupa segala
sesuatu atas-Nya, tidak disifatkan dengan sifat-sifat yang juga disifatkan
kepada makhluk, bukan jisim, bukan bentuk, bukan jauhar, bukan ‘aradh. Tidak
ada ukuran berat…, tidak gerak atau diam, tidak bertempat, tidak beranak dan
tidak berperanakkan…” (H.M. Laily Mansur, 1994: 40-42 )
Syi’ah Imamiah lebih cendrung mengkafirkan
orang yang berpendirian tasybih, sebagaimana dinyatakan oleh sayid Muhammad
Ridha al-Muzfar : “Dan barang siapa yang menyatakan dengan tasybih atau
Tuhan-Nya dengan menggambarkan bagi-Nya ada wajah, tangan dan mata, atau turun
kelangit dunia, atau bagi ahli surga Dia tampak seperti bulan dan sebagainya,
maka orang yang menyatakan demikian berada di tempat kafir, dan orang itu jahil
atas hakekat Tuhan Yang Maha Suci dari sega kekurangan.
Salah satu golongan lain di dalam Syi’ah
yaitu Ismailiah yang amat banyak terpengaruh pada filsafat, sebagaimana yang
dituturkan oleh Imam Syahrastani, yang dikutif oleh Laily Mansur. Menurut
Ismailiah, tidak dikatakan bagi-Nya maujud
atau tidak maujud, tidak alim dan
tidak jahil, tidak qadir dan tidak ‘ajiz (lemah). Demkian seterusnya
terhadap semua sifat. Hujjah mereka kedalam hal ini adalah bahwa penetapan
hakiki terhadap sifat-sifat itu membawa kepada berserikat antara Dia dengan
semua maujud di dalam sifat-sifat yang diberikan kepada-Nya. Yang demikian itu
membawa kepada syirik dan tasybih. Oleh karena itulah tidak mungkin menghukum
dengan penetapan sifat-sifat Tuhan itu secara mutlak dan tidak mungkin pula
penolakan secara mutlak.
Setelah aliran Syi’ah Ismailiah ini
dimasuki oleh Filsafat Yunani, khususnya Neo Platonisme di masa Khalifh Al
Ma’mun dengan cara intensif mengawinkan ajaran-ajaran agama dengan filsafat,
maka dari sinilah mulai terjadinya penyimpangan-penyimpangan khususnya
dikalangan Ikhwanus Shafa, yang menghasilkan ajaran-ajaran yang ekstrim. Mereka
meyakini bahwa imamah atau khilafah menuruti jalan nash dan ketetapan dan Imam
itu adalah maksum, rakyat wajib mengetahuinya, membaiat dan taat kepadanya.
Pengaruh yang mendalam dari filsafat Neo
Platonisme aliran Syi’ah Ismailiah juga percaya kepada teori emanasi. Nabi
menduduki tempat sebagai akal pertama bersama imam-imam dan jiwa semesta. Dn
ilmu pengetahuan yang memiliki aspek batin bisa sampai kepada tingkat rahasia
pengetahuan batin tertinggi. Sedangan bagi orang-orang awam hanya memiliki ilmu
pengetahuan lahiriah saja. (H.M. Laily Mansur, 1994: 50)
Aliran Syi’ah lain yang cukup besar
pengikutnya adalah golongan Zaidiah, yang dipimpin oleh Zaid bin Hasan bin Ali
bin Husen bin Ali bin Abi Thalib, aliran ini agak moderat dan mengarah pada
Ahlus Sunnah. Karena Zaid berguru kepada Wasil bin Atha, maka Zaid tidak bisa
melepaskan pengaruh gurunya dan dalam hal ini pengaruh Mu’tazilah.
Dengan pemikiran yang terbuka, aliran
Syi’ah telah mencoba untuk mempelajari dan menerima Filsafat Yunani. Kemudian
pada akhirnya terlahir filosof-filosof muslim, di dunia abad yang baru lalu
saja (abad ke-20), seperti: Thabathaba’I, Murtadha Muthahhari dan yang masih
hidup seperti Jalal Al-Din Asythiyani. Bahkan jauh sebelumnya telah lahir
filosof muslim seperti; Al Kindi, al-Razi al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan
seterusnya.
Memang sebenarnya
proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran
filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosuf Islam banyak
mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap
pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosuf Yunani
diambil oleh filsuf Islam.
Demikian keadaan
orang yang dapat kemudian. Kedatangan para filosuf Islam yang terpengaruh oleh
orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang
hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani
dan Romawi. Akan tetap berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga
dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari
Aristoteles. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak
aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan
perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan
dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan
persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya
sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai
mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia
mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan
Islam pernah menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan
berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa
tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya,
transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan
perbudakan dan penjiplakan.
Kenyataan yang ada juga telah menunjukkan
bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada
masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian
melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai
digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M),
oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki, Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn
Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat
dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan
kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun
Wasil ibn Ata’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan
menjadi doktrin resmi Negara. (Harun Nasution, 1986: 38)
Demikian juga dalam bidang fiqh.
Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti ijtihad, istihsan, qiyas dan lainnya telah lazim digunakan.
(Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam
Islam: 73) Tokoh-tokoh mazhab fiqh
yang menelorkan metode istinbath
dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik
(716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), mereka hidup
sebelum kedatangan filsafat Yunani. ( Arsyad, Natsir,
1995: 110)
2.
Landasan dan Pokok Ajaran dalam Filsafat Islam
Melalui uangkapan yang mengatakan bahwa setiap murid yang belajar kepada
gurunya tidak semua ilmu yang diberikan guru harus di ambil, akan tetapi
adakalanya perlu analisis terlebih dahulu dan perlu pendalaman. Demikian juga
Filsafat Islam walaupun para filosof Islam ada yang berawal dari mempelajari
Filsafat Yunani akan tetapi bukanlah filsafat yang dibangun dari tradisi
filsafat Yunani yang bercorak rasionalistik, tetapi dibangun dari tradisi
sunnah Nabi dalam berpikir yang rasional transedental, yang merujuk dari sunnah
Nabi dalam berpikir yang akan menjadi tuntunan dan suritauladan bagi kegiatan
berpikir umat Islam.
Pada awal
perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa
diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat
jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi
dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit
seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya
adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman.
Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai
relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwa. Makna takwil diperlukan
untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski
model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas
membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha keluar dari
makna lahiriyah (zhahir) teks. (2)
Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari
satu makna (musytarak) dengan
istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati
model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiyas (analogi) atas persoalan-persoalan
yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah
larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada
emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata
mukmin dan muslim dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan
dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan
pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya
mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana
menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya
dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk
kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa
antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan
pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan
seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal,
khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya
metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda
dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman,
hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya
tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan
atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis,
pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat
program penterjemahan. ( Sudarsono, Filsafat Islam, 1997: 95)
Metode berpikir dalam Filsafat Islam, yaitu rasional transedental, dan
berbasiskan al Kitab dan Hikmah, pada dialektika fungsi AlQur’an dan aqal untuk
memahami realitas. Secara operasional bekerja melalui kesatuan organik pikir
dan Qolb, yang menjadi bagian utuh kesatuan diri atau nafs. Filsafat Islam pada
hakekatnya adalah Filsafat Kenabian Muhammad. Yang di maksud filsafat kenabian
adalah realitas pengetahuan dan nubuat kenabian sebagai suatu landasan
ontologis, epistemologis, serta aksiologis bagi konstruksi pemikiran Islam.
Realitas pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Kenabian ini bersumber dari
dialektika rasio dan wahyu.
Filsafat Islam membahas hakikat semua yang ada, sejak dari tahap ontologis,
hingga menjangkau dataran metafisik. Filsafat Islam juga membahas mengenai
nilai-nilai, yang meliputi dataran epistemologis, estetika dan etika, serta
membahas pula tema-tema fundamental dalam kehidupan manusia, yaitu Tuhan,
manusia, alam dan kebudayaan yang sesuai dengan kecenderungan perubahan Jaman.
(lihat: Musa Asy’arie, Filsafat Nabi, Sunnah Nabi dalam Berpikir, 2001: 87).
Disini membuktikan bahwa filsafat Islam mengkaji mengkaji berbagai aspek, baik
yang fisik maupun metafisik, baik urusan dunia ataupun urusan akherat.
3.
Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran Filsafat dalam Islam
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam
pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak
dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada
masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri
dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan
pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan
epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan
metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada,
bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok yang
datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti
Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai
akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti
penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq. (lihat;
Buku Sudarsono, Filsafat Islam; 1997)
Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama)
merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang
masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk
menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal
sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar
bentuk analisis secara
murni tetapi telah menjadi bagian dari agama. Demikian juga Al-Kindi
diuangkapkan oleh Harun Nasution Al-kindilah filosof Islam pertama yang
menjelaskan bahwa tiada pertentangan antara agama dan filsafat. Titik pertemuan
antara keduanya terletak pada kebenaran al-haqq.
Harun Nasution: 1986, Akal dan Wahyu, H. 82)
Falsafat
dalam pengertian Al Kindi adalah pembahasan tentang kebenaran, bukan untuk
diketahui saja tapi juga untuk diamalkan. Agama juga datang untuk kebenaran.
“Falsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafat pertama, yaitu
ilmu tentang Yang Maha Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi tiap kebenaran”,
Yang Maha Benar Pertama adalah Tuhan Pencipta alam semesta. Jadi Agama dan
Falsafat ada persesuaian. Perbedaannya hanyalah bahwa falsafat memperoleh
kebenaran melalui akal sedang agama melalui wahyu.( Atiyeh, George N., Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, 1983
Metode
rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran
Arab-Islam adalah setelah masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang
yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang
hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan --pada prinsipnya-
dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang
menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh
pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap
sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan
kebohongan.
Meski
demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat
dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan
persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan
orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap
yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh,
penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan
dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya
rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas
dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah
orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim
penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya
kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan.
Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme
Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan
ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan
dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa
dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya
justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya
adalah Al-Razi menolak kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah
memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan
rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri
dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada pembenaran
untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua
orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan
pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda.
Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada
perbedaan.
Usaha
penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani
diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil
(847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum
ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh
angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Muktazilah
khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi revolosi orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan
diganti dari kalangan salaf.
Pada masa
khalifah al-Mutawakkil, khususnya di ibu kota Baghdad, filsafat mengalami
kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa
diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota
propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap
giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi
(870-950). Tokoh yang dikenal sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya
menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan
filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap
sebagai guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama. ( Harun Nasution,
1986: 63-64 )
Selain itu,
al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul,
sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi
kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kalam) dan
yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia
membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan
ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling
tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang
termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu
politik. (Sudarsono, Filsafat Islam, 1997: 14)
Dengan
posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama,
pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan
pemikiran Arab-Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat,
seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas
dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut
digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya
dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan
menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut
akal. (Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat
Pemikiran Ibn Sina, 1988: 51)
Akan
tetapi, setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena
serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti
filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahafut
al-Falasifah yang dikutip Harun Nasution dan bukunya Akal dan Wahyu.
Al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya
pemikiran filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga masalah pokok yang membuat
filosof, kata Al-Ghazali, menjadi kafir, pertama,
tidak bermulanya (qadimnya) alam, kedua,
tidak taunya Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam, dan ketiga, tidak adanya pembangkitan jasmani.
Al-Farabi
dan Ibn Sina, dengan falsafah emanasi mereka, berpendapat bahwa ala mini
diciptakan Tuhan semenjak azal dengan jalan emanasi atau pancaran. Semenjak
azalTuhan memancarkan dan yang dipancarkan itu harus telah mempunyai wujud
semenjak azal pula. Yaitu Tuhan memancarkan akal-akal dan akalmerupakan daya.
Dengan demikian energi bersifat azali atau qadim dalam arti wujudnya tidak
mempunyai permulaan dalam zaman, tetapi sungguhpun demikian ia tetap adalah
ciptaan Tuhan. Antara wujud energi dan wujud Tuhan tidak ada perbedaan waktu,
yang ada ialah perbedaan dalam urutan esensi. Tuhan lebih dahulu dari energi
dalam urutan dan bukan dalam waktu. (Sudarsono, Filsafat Islam, 1997: 54)
Mengenai
masalah kedua, tidak tahunya Tuhan tentang perincin yang terjadi di alam ini,
kesimpuan demikian memang dapat ditarik dari falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn
Sina. Tuhan dalam falsafat itu berfikir tentang dirinya dan dari pemikiran
tentang dirinya inilah terjadi penciptaan alam dan dengan demikian jauh dari
perincian yang terjadi di alam. Selanjutnya dikatakan dengan akal yang sepuluh
lebih dekat kepada alam dan lebih bias mengetahui perincian yang terjadi di
dalamnya. Dan yang ketiga, tidak adanya pembangkitan jasmani dapatpula
disimpulkan dari falsafat Al-Farabi dan Ibn Sina tentang jiwa manusia atau
akal, daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, adalah unsur terpenting
dari manusia. Kebahagian manusia yang sebenarnya bukanlah kesenangan jasmani,
tetapi kebahgian rohani, dan kebahagian sebenarnya adalah kebahagian di akherat
nanti. Untuk mencari kebahagian rohani kaum filosof dengan komunikasi
intelektual dengan Tuhan dan sufi dengan melihat Tuhan melalui hatinurani.
Untuk
menentang kritik yang dimajukan Al Ghazali sebagai dijelaskan di atas, Ibn
Rusyd menulis buku Tahafut Al Tahafut,
di dalamnya ia jelaskan bahwa penciptaan bukanlah dari tiada tetapi dari yang
ada. Ibnu Rusyd mencontohkan Biji umpamanya berobah menjadi anak pohon, anak
pohon menjadi pohon, pohon dipotong menjadi papan, papan disambung-sambung
menjadi meja,meja usang menjadi bahan baker, bahan baker dibakar menjadi abu
dan abu menjadi tanah. Anak pohon tidak ada begitu saja, demkian pula yang
lainya. Yang terjadi ialah “ada” berobah menjadi “ada”.
Mengenai
masalah kedua Ibn Rusyd mengatakan bahwa pertentangan antara Al Ghazali dengan
kaum filosof timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan
manusia. Pengetahuan tentang kekhususan diperoleh dari panca indra dan keumuman
diperoleh melalui akal. Maksudnya kelihatannya Tuhan bersifat imateri dan
dengan demikian pada diri Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui
kekhususan. Kemudian pengetahuan Tuhan bersifat qadim sedangkan pengetahuan
manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab sedangkan pengetahuan
manusia tentang kekhususan akibat. Tentang tidak adanya pembangkitan jasmani,
Ibn Rusyd dalam hal ini kurang rinci dia mengatakan semua agama mengakui adanya
hidup kedua di akhirat, walaupun da perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang
jelas dia mengatakan hidup di akhirat nanti berbeda dengan hidup di dunia
sekarang. (Sudarsono, 1997: 54-57)
Perkembangan corak berpikir para filosofis di atas dan menampakkan
kontradiktif hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari luar terhadap
pemikiran filsafat islam. Dan ini tidak bisa di pungkiri bahwa kontribusi
filsafat Yunani dalam dunia islam sangat besar sekali meskipun pada awalnya
banyak yang tidak menerima filsafat Yunani. Karena banyaknya penentangan tersebut
maka para filosofis seperti Ibn Rusyd mempertahankan argumennya dan menjelaskan pemikiran
filsafatnya dengan mengasimilasikan antara akal dan wahyu Allah SWT. Meskipun
tidak semua menerima, akan tetapi dengan buku
Tahafut Al Tahafut yang di
karang oleh Ibn Rusyd .tidak sedikit
yang tercerahkan.
Dalam bagian akhir ini, ada
beberapa hal yang perlu disampaikan. Pertama,
Bahwa filsafat Islam adalah hasil dari asimilasi dari filsafat Yunani, akan
tetapi tetap merujuk dari sunnah Nabi dalam berpikir, dengan kata lain bahwa
Filsafat Islam adalah hasil dialektika antara wahyu dan akal untuk memahami
realitas.
Kedua, bahwa
perjalanan pemikiran filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut;
pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
dan menghadapi pemikiran-pemikiran aneh tapi kemudian dicurigai karena ternyata
tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama yang dianggap baku,
khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh al-Farabi
dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh serangan
al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar
suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah.
DAFTAR PUSTAKA
Amien,
Miska M., Epistemologi Islam,
Jakarta: UI Press, 1983
Aqqad,
Abbas Mahmud, Filsafat Pemikiran Ibn Sina,
Solo: Pustaka Mantiq, 1988
Arsyad,
Natsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah,
Jakarta: Srigunting, 1995
Asy’arie,
Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam
Berpikir, Lesfi, 2001
Atiyeh,
George N., Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim,
Bandung: Pustaka, 1983
Hasjmy, A, Sejarh Kebudayaan Islam, cet. 5, 1995
Leaman,
Oliver, Pengantar Filsafat Islam,
Jakarta: Rajawali Pres, 1988.
Mukti Ali,
Agama Dalam Pergumulan Masyarakat,
Yogya: Tiara Wacana, 1998
Mansur,
Laily, Pemikiran Kalam dalam Islam,
Jakarta: LSIK, 1994
Nasution,
Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI
Press, cet. 2, 1987.
Nasution,
Harun, Teologi Islam: Aliran Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, 1972
Sudarsono,
Filsafat Islam,Jakarta: Rineka Cipta,
1997
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam,
Jakarta: Yayasan Obor, 1991
Terimakasih Anda telah membaca tentang
Judul: ASAL USUL DAN PENGARUH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Sonin
Semoga informasi ASAL USUL DAN PENGARUH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jika ingin mengkopi paste artikel ini jangan lupa sertakan alamat blog kami karyasonin.blogspot.com atau jika ingin terhubung dengan facebook anda klik suka pada link facebook dibawah ini
Judul: ASAL USUL DAN PENGARUH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Sonin
Semoga informasi ASAL USUL DAN PENGARUH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jika ingin mengkopi paste artikel ini jangan lupa sertakan alamat blog kami karyasonin.blogspot.com atau jika ingin terhubung dengan facebook anda klik suka pada link facebook dibawah ini
0 komentar:
Post a Comment